Monday, June 7, 2010

Sahabat (Diary bagian tiga)

Dulu ibuku pernah bilang "Kalo mau cari teman sejati itu waktu masih sekolah, kalo sudah bekerja tidak akan ada lagi sahabat sejati". Hmmmm...., mungkin ibuku benar.

Aku melihat lagi diary lamaku tentang seorang sahabat lama yang nomor telponnya barusan aku dapatkan lagi. Dia sahabatku seorang perempuan desa yang baik dan manis. Seorang teman yang sederhana, baik dan periang. Suaranya lembut selembut senyumannya. Dia sahabatku. Dia pacar temanku dulu.

Saat kamu tamat kuliah kamu mencari hidup ke jakarta dan aku masih kuliah karna aku mengambil S1 dan kamu D3. Sejak itu kita tidak bertemu lagi sampai aku menamatkan kuliah dan merantau juga ke jakarta. Dan kitapun janjian untuk bertemu. Masihkah kau ingat pertemuan terkahir kita? sekitar 10-12 tahun yg lalu mungkin, aku lupa tepatnya. Kita berjanji bertemu dia pasar Senen. Disebuah mall dan waktu itu aku menunggumu di pintu masuknya.

Dulu, kamu adalah wanita yang selalu penuh senyum, ada cahaya bahagia terpancar dari wajahmu. Kamu masih ingat..., saat aku kamu undang ke kampungmu dimana pada malam hari itu kamu dan keluargamu sedang *mengirik padi* di tengah sawah diterangi cahaya lampu dan gemercik hujan rintik-rintik. Aku masih ingat dan mencatatnya di catatan harianku waktu itu, karna begitu bahagianya wajah-wajah yang hadir pada malam itu, wajahmu, keluargamu, dan juga aku berserta teman-teman kita. Ikut tertular kebahagiaan itu. Aku masih ingat saat kita bersama tertawa ditemani teh panas dibawah tenda se-adanya dan gemercik padi-padi yang dipanen. Aku mencatatnya,



Ah,
Gemercik ranting2 padi yang digilas telapak kaki
Mereka orang2 desa yang bahagia Dibawah rintik hujan yang terhalang tenda
Menekuni hartanya yang bahagia

Aku duduk menatap malam dan gemercik ranting2 padi yang bertebaran

Meneguk segelas teh dan dingin malam
Sungguh terbecak kebahagian diwajah-wajah mereka
Tawa....

Canda....

Dan akupun ikut merasakanya Gemercik ranting2 padi yang bertebaran

Oh ya..., kau ingat setiap habis pulang kuliah kita suka jalan bersama-sama, nongkrong dikosanmu, kadang makan bersama, kadang bikin rujak, aku, teman-teman baik kita yang lain, dan juga cowokmu. walau kamu sering bertengkar dengan lelakimu tapi kamu selalu tersenyum pada sahabat-sahabatmu. Sepertinya persahabatan kita tidak akan mati. Kita semua.

Dan aku masih ingat kamu datang sedikit terlambat saat pertemuan terakhir kita itu, aku menantimu dipintu masuk sebuah mall di pasar senen jakarta. Saat itulah aku terkaget waktu melihat dirimu pertama kali, kamu begitu beda dengan kamu yang dulu waktu masih kuliah, gayamu, penampilanmu, cara berpakaianmu, dandananmu, sepatumu mengggunakan hak tinggi dan yang paling membuat aku kaget adalah tidak ada lagi sinar diwajahmu seperti dulu.

Ketulusan kita sebagai sahabat selama ini membawa kita kepertemuan kembali setelah sekian lama. Ada yang berubah dari dirimu, hampir semuanya, apakah kerasnya ibukota membuatmu berubah? Dan yang membuat aku kaget lagi ternyata kamu sudah menikah tanpa memberi tahu aku atau teman-teman kita dulu. Kamu mencoba tersenyum dan tertawa saat kita berpindah nongkrong disebuah cafe, saat kita bercerita ditemanin secangkir kopi, tapi aku tau tawamu dan senyummu dipaksakan, ada sesuatu didirimu, seperti ada beban dan derita, walau kamu menutupinya aku merasakanya.

Kita mengbrol tentang masa lalu kita, tentang teman-teman kita, tentang kelucuan kita pada masa-masa kuliah, kita tertawa kala itu, disebuah pojok di mall pasar senen. Sampai akhirnya kamu bilang padaku kalo kamu butuh uang, dan akupun meminjamkanya, dan aku tau kamu tidak ingin menceritakan kesedihanmu padaku waktu itu. Dan kitapun berpisah.

Itulah terakhir kita bertemu mungkin sekitar 10-12 tahun yang lalu atau lebih. Sejak itu kamu menghilang entah kemana, hilang lenyap seperti ditelan bumi. Satu-satunya nomor telpon yang aku punyapun tidak bisa menghubungimu. Nomormu sudah berubah. Kita putus kontak sampai beberapa hari yang lalu, seorang teman memberikan nomor telponmu padaku lewat facebook. Tapi aku masih belum menelponmu, ada keraguan menelponmu saat ini. entah apa.

persahabatan bagai kepompong
mengubah ulat menjadi kupu-kupu
persahabatan bagai kepompong

hal yang tak mudah berubah jadi indah
persahabatan bagai kepompong

maklumi teman hadapi perbedaan

persahabatan bagai kepompong
................

Kita adalah ulat yang sekarang sudah menjadi kupu-kupu yang terbang entah kemana, kemanapun kita mau.

Leia Mais…

Tuesday, June 1, 2010

Senja


Dia terlahir di kota senja. Kota yang memancarkan cahaya jingga kemerahan. Dia adalah senja. Terlahir dari ayah matahari dan ibu lautan. Dia muncul dikala senja. Diufuk barat saat cahayanya menyilaukan, membiaskan kuning perak waktu cahaya itu jatuh dirumpun padi pada sela-sela gedung kampusku. Namanyapun senja.

Senja. Dia membuat aku terpana, cahayanya menembus dada. Hatikupun luruh. Setiap petang setelah pulang kuliah, kukejar senja itu ke ujung cakrawala. Selalu ada lautan yang menghadang. Yang memisahkan jarak antara aku dan senja.

"Hai senja" aku menyapanya dibibir lautan nan bergelombang, karna kala itu angin kencang. Angin membelai wajahku. Serasa senja hadir disampingku.

Seringnya senja tidak menjawab sapaanku, seringnya senja hanya diam dan cuek kala kusapa. Seringnya senja tidak menerima ramahku. Senja hanya memancarkan cahayanya menembus ruang hatiku, walau kadang senja tertutup awan yang menghitam. Kala hujan turun dan lautan ikut bergelombang. Sesekali ada pelangi. Menambah warna pada kanvas senja.

Dan begitulah setiap harinya, setelah pulang kuliah, aku buru-buru mengejar senja. Duduk sambil melantukan nada-nada rindu. Menatap senja dari kejauhan. Merindukan senja sampai esok datang menjelang. Menunggunya berjam-jam hingga malam datang menyembunyikan senja. Bergumam dan menuliskan catatan-catatan tentang cahaya jingga, cahaya kuning, cahaya emas dan kadang tentang pelangi yang muncul diujung cakrawala bila ada hujan di ufuk senja.

“Aku mencintaimu senja”
“Itu tak mungkin, Aku terlahir dari matahari, aku akan membakarmu"
"Aku sudah terbakar, apakah ada yang salah dengan itu?"
"tidak..., tapi..., tapi.."
"tapi apa senja"

Senja pun diam lagi, karna malam sudah menyembunyikan sinarnya. Dan begitulah, aku masih duduk sendiri menatap ke ujung cakrawala. kadang ditemani secangkir kopi kadang ditemani sebatang rokok dan juga bersama angin.

Leia Mais…