Tuesday, June 1, 2010

Senja


Dia terlahir di kota senja. Kota yang memancarkan cahaya jingga kemerahan. Dia adalah senja. Terlahir dari ayah matahari dan ibu lautan. Dia muncul dikala senja. Diufuk barat saat cahayanya menyilaukan, membiaskan kuning perak waktu cahaya itu jatuh dirumpun padi pada sela-sela gedung kampusku. Namanyapun senja.

Senja. Dia membuat aku terpana, cahayanya menembus dada. Hatikupun luruh. Setiap petang setelah pulang kuliah, kukejar senja itu ke ujung cakrawala. Selalu ada lautan yang menghadang. Yang memisahkan jarak antara aku dan senja.

"Hai senja" aku menyapanya dibibir lautan nan bergelombang, karna kala itu angin kencang. Angin membelai wajahku. Serasa senja hadir disampingku.

Seringnya senja tidak menjawab sapaanku, seringnya senja hanya diam dan cuek kala kusapa. Seringnya senja tidak menerima ramahku. Senja hanya memancarkan cahayanya menembus ruang hatiku, walau kadang senja tertutup awan yang menghitam. Kala hujan turun dan lautan ikut bergelombang. Sesekali ada pelangi. Menambah warna pada kanvas senja.

Dan begitulah setiap harinya, setelah pulang kuliah, aku buru-buru mengejar senja. Duduk sambil melantukan nada-nada rindu. Menatap senja dari kejauhan. Merindukan senja sampai esok datang menjelang. Menunggunya berjam-jam hingga malam datang menyembunyikan senja. Bergumam dan menuliskan catatan-catatan tentang cahaya jingga, cahaya kuning, cahaya emas dan kadang tentang pelangi yang muncul diujung cakrawala bila ada hujan di ufuk senja.

“Aku mencintaimu senja”
“Itu tak mungkin, Aku terlahir dari matahari, aku akan membakarmu"
"Aku sudah terbakar, apakah ada yang salah dengan itu?"
"tidak..., tapi..., tapi.."
"tapi apa senja"

Senja pun diam lagi, karna malam sudah menyembunyikan sinarnya. Dan begitulah, aku masih duduk sendiri menatap ke ujung cakrawala. kadang ditemani secangkir kopi kadang ditemani sebatang rokok dan juga bersama angin.